Kamis, 24 Desember 2009

DARI SUATU MASA

“Mungkin masih ada yang tersisa dari prahara
selain puisi”, katamu sembari bergegas pergi
Aku tak begitu sadar apa pernah mengucapkannya
Gerangan berapa kali atau memang tak pernah
Tapi kenapa ada yang mengingatkan lagi?
Aku ingin mengatakan kau mungkin benar
Aku mengira kau masih akan menoleh sejenak
Ketika kau melangkah meningggalkan pagar terbuka
Pagar yang sudah melepasmu dari suatu masa
Menuju sebuah zaman lain yang belum bernama


1999
NEGERI KATA-KATA

Berapa usia kata-kata?
Pepatah dan petitih?

Tua betapa pun tak renta
Tak mengenal ajal

Jajaran rumah sepanjang lorong, sawah di lereng
ladang di bukit dan munggu pemakaman bertanda batu
Dan bunga puding hitam, tanah, kerikil di atasnya
Selalu ada yang bisa lain, pandanglah puputan angin
Jawaban, sepertinya, ada di sana

Siapa nenek moyangnya, asal kaumnya?
Di mana tiang pertama rumahnya ditancapkan?
Dari rimba mana pohon pilihannya?
Di mana tunggul penebangannya?
Di mana sawah ladangnya, sosok jeraminya?
Di mana pandam pekuburan kaumnya?

Kata bertahta tanpa aksara
Bermahkota tanpa raja

Silsilah pun bermula setelah tanda tanya
Dalam rentang waktu, diucapkan dan dihafalkan
Tak ada kata yang dapat diganti, bagai pahatan

Siapa pun lahir, Tuhan menempatkannya, dengan cahaya
Di bumi. Kaum dan negeri menimangnya dalam tatanan
Kata memberi mereka mahkota, menandai jalan ke sorga


1999
TAK BEGITU INGAT

Tak begitu ingat
Kapan pertama kali mendengarnya
Mungkin waktu terbaring di sebuah rumah sakit
Dalam setengah bermimpi sehabis pembiusan
Samar-samar terdengar suara jam dinding
Orang-orang lewat membawa jenazah di luar pintu
Tapi rasanya tak ada jam dinding di sana


2001
JEJAK DETAK JAM

Ruang retak
Bernafas dari desah yang membelah
Angin sujud pada debu dan tanah

Jejak detak jam
Pada darah bersimbah
Laut pun jadi batas

Jejak detak jam
Berenang dalam nyala
Pada mata parang
Pada laras bedil

Jejak detak jam
Mengukir bola-bola api
Dengan ayun kepalan
Di kening matahari



2007
BAYI DALAM KARDUS
-Salam buat ucu agustin-

Tiba waktu, ia pun lahir
Di bawah kolong jembatan layang, Sayang
Tak ada tangan memeluknya

Malam yang menyelimutinya, pun berlalu
Pagi ia ditemukan sudah biru membeku
Dalam kardus bekas makanan
Di bawah kolong jembatan layang, Sayang
Di perkampungan orang-orang terbuang

Mereka tak sempat memberinya nama
Berselimut pakaian bekas dan kertas koran
Mereka menggendongnya ke pemakaman

Tanpa surat pengantar kelurahan
Tak ada tempat, kata penjaga makam
Kalau pun ada tempat, biayanya satu juta
Lagi pula ini anak siapa?

Anak kami. Kami semua ibunya
Mereka menyahut bagai paduan suara
Bapaknya jangan tanya.
Namanya mungkin ada di koran Jakarta

Berjalan dari satu pemakaman ke yang lain
Tak satu yang mau terima mayat si bayi
Malam pun larut, mengendap-ngendap
Lelah dan lapar, mereka kembali pulang
Ke kolong jembatan layang, Sayang

Di taman rumah besar berpagar besi
Penjaga temukan tubuh biru di dalam kardus
Nyaris tercekik ia menelan jeritnya sendiri

Haram jadah, anak setan dari mana ini?
Sambil muntah dilemparkannya
Bungkusan koran dalam genggaman
Jauh, ke jalan raya yang sunyi di Ibukota


2007
KETIKA LANGIT DAN BUMI TAK LAGI TERBAYANGKAN

Apakah aku terlihat siang atau kabut atau debu-debu
Tak tahulah. Sungguh tak lagi terbayangkan
Tapi barangkali ketika itu di suatu senja yang asing
Aku pernah punya wajah buat dikenal. Wajahku
Barangkali ketika itu aku hendak mengenangnya
Sebagai tanda dari perkenalan yang diterima
Sebagai tanda dari percintaan yang selesai buat mencipta
Atau barangkali pernah pula ada perkenalan yang lain
Namun segalanya jadi lupa. Tak lagi terpikirkan. Pula –
Bagaimana aku kan tahu sekiranya masih ada saat dan ketika
Masih meniti nafas dalam kesendirian yang lemas indera
Bahkan maut pun tak tersapa dan cinta pun tiada bangkit
Hanya topan perasaan kehilangan yang melaju. Melaju
Kehilangan di daerah pengasingan. Terhantar di sini
Dalam segala tak lagi punya warna atau ungkapan
Ketika langit dan bumi tak lagi terbayangkan


1967
BUNGA DAN KUCING
_Buat Jufri Tannisan_


Yang tahu hanya sekuntum bunga
Betapa hausnya terhadap cinta
Sepasang daun gugur di atas kanvas
Dan kulihat juga seekor kucing
Begitu tenang dia menatapnya

Yang tahu hanya sekuntum bunga
Betapa hausnya terhadap cinta
Sepasang daun layu diatas kanvas
Dan kucing itu begitu tenang
Begitu tenang dia menatap pada kita


Jakarta
1964
YA, KITA MEMERLUKAN SEORANG KEKASIH

Bila sungai-sungai bermuara ke lautan
Laut manakah muara bagi sungai dalam hatiku
Bila burung-burung terbang bebas di cakrawala
Manakah cakrawala tempat mengembangkan sayap
Bagi rindu yang menggelepar dalam dadaku
Bila taman-taman pun juga punya pengasuh
Siapakah pengasuh jiwaku yang buncah ini ?

Ya, kita memerlukan seorang kekasih
Hatinya bagai lautan dadanya cakrawala
Budinya lembut buat mengasuh dan menjinakkan
Ya, kita memerlukan seorang kekasih untuk
menemani kita kita membaca kisah-kisah
menampung kecewa dan meredakan gelisah
membukakan pintu di malam larut

Bila angin berlari pepohonan melambaikan jari-jarinya
Siapakah yang melambai bila aku sedang berkelana
Akar pohon-pohon berpegang erat pada tanah dan batu
Tapi jiwaku yang gamang ke manakah hendak berpegang
Akan terkatungkah aku, mencari atau menunggu
Kamarku yang suram merindukan seorang tamu

Ya, kita memerlukan seorang kekasih
Lengan-lengan yang membelai, memagut jadi satu
Menyalakan lampu, mendoa dan menyulam impian
Malaikat-malaikat syorga pun melayang rendah
Ketika Tuhan merestui satu percintaan
Hingga bumi pun simpati, turut serta orang-orang lalu
Sebab demikianlah alam, Tuhan telah ciptakan


1967

Selasa, 01 September 2009

Bertahun setelah kepergiannya kurindukan dia kembaliDengan gelombang semangat halilintar dilahirkannya sebuahnegeri; dalam lumpur dan lumut, dengan api menyapu kelammenjadi untaian permata hijau di bentangan cahaya abadi; yangsenantiasa membuatnya tak pernah berhenti bermimpi; menguakkabut mendung, menerjang benteng demi bentengmembalikkan arah topan, menjelmakan impian demi impianDengan seorang sahabatnya, mereka tandatangani naskah itu !Mereka memancang tiang bendera, merobah nama pada peta, berjagamembacakan sejarah, mengganti bahasa pada buku. Lalu dia meniupterompet dengan selaksa nada kebangkitan sukmaKini kita ikut membubuhkan nama di atas bengkalainya;meruntuhkan sambil mencari, daftar mimpi membelit bulanPerang saudara mengundang musnah, dendam tidur di hutan-hutan,di sawah terbuka yang saktiKata berpasir di bibir pantai hitamdan oh, lidahku yang terjepit, buih lenyap di laut bisuderap suara yang gempita cuma bertahan atau menerkamYa, walau tak mudah, kurindukan semangatnya menyanyi kembalibersama gemuruh cinta yang membangunkan sejuta rajawaliTak mengelak dalam bercumbu, biar di ranjang bara membatuTak berdalih pada kekasih, biar berbisa perih di rabuBerlapis cemas menggunung sesal mutiara matanya tak pudarBagi negeriku, bermimpi di bawah bayangan burung garuda
(1979)Hukla (Kumpulan Puisi)jakarta, 1979